Partisipasi
politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang
untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Konsep partisipasi politik ini
menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau
demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain
terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan
rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok
yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik
perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative
democracy.
Di
Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan
warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik
dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partisipasi
masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah
masing-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan
warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Di lain
sisi dikenal istilah Perilaku politik atau (Inggris: Politic Behaviour) yang
merupakan suatu perilaku yang dilakukan oleh insan/ individu atau kelompok guna
memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Seorang individu/ kelompok
diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan
perilaku politik. Adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya
adalah:
•
Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
•
Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik
atau parpol, mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat)
• Ikut
serta dalam pesta politik
• Ikut
mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
• Berhak
untuk menjadi pimpinan politik
•
Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna
melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang
dasar dan perundangan hukum yang berlaku
Sumber
perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara
pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat
tertutup. Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar "uang
pelicin" kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai
dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang
dianggap sah dalam budaya politik kita kini. Suatu budaya politik biasanya
berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam
konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik,
terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.
Di negara
kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada
zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh
dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru,
yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Di
sementara kalangan budaya politik kita disebut dengan "budaya politik aji
mumpung". Dalam memahami bentuk perilaku politik, dapat dipergunakan
pendekatan respon politik (behavioralisme), yang mengetengahkan partisipasi
politik, baik secara historis, sosiologis, tradisional dan lainnya. Partisipasi
politik adalah perilaku luar individu warga negara yang bisa diamati dan bukan
merupakan perilaku dalam yang berupa sikap atau orientasi. Bentuk partisipasi
politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional (normal dalam demokrasi
modern) dan non-konvensional (legal maupun illegal, penuh kekerasan dan
revolusioner).
Dalam
partisipasi politik, berarti dimungkinkan terdapat hubungan antara pemerintah
dan masyarakatnya. Untuk membangun interaksi antara pemerintah dan masyarakat
diperlukan proses, partisipasi dan kontribusi (interaksi timbal balik). Dan
peningkatan partisipasi politik, baik secara kualitas maupun kuantitas
merupakan kunci demokrasi.Budaya politik merupakan orientasi psikologis
terhadap obyek sosial yang meliputi aspek kognitif, afektif dan evaluatif yang
ditujukan kepada sistem politik secara umum. Atau, secara praktis, budaya
politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar para aktor untuk
menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik. Latar budaya politik
beraneka ragam, antara lain terdiri atas: ras, etnik, adat, bahasa, agama dan
lain sebagainya. Dengan keragaman latar budaya politik tersebut dimungkinkan
muncul sengketa politik, yang umumnya berkisar pada kepentingan ekonomi,
kekuasaan, dan masalah-masalah khusus misalnya hak-hak warga negara.
Penyelesaian persengketaan sulit dilakukan apabila hanya mengakomodasi
kepentingan salah satu kepentingan. Maka, diperlukan kesadaran dan partisipasi
politik yang bijak untuk mengatasinya.
Secara
umum definisi Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan Negara dan, secara langsung maupun tidak langsung,
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Partisipasi
politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam
pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat
partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang
otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan
partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi
meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk otonom dari
jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan
yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju
demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam,
dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang
bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena
begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan
aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat
beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:
Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu
partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua,
partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi
ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu
sendiri (PPIM, 2001).
Di negara
demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan diberbagai kegiatan. Biasanya dibagi–bagi
jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan
yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan
prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang
secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai
aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok
kepentingan.
Negara
berkembang adalah negara–negara baru yang ingin cepat mengadakan pembangunan
untuk mengejar ketertinggalannya dari negara maju, salah satunya Negara
Indonesia. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya
pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat
dapat menolong penanganan masalah-masalah yang timbul dari perbedaan etnis,
budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Pembentukan identitas
nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang pertumbuhannya melalui
partisipasi politik.
Di
beberapa negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri
mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di negara-negara
maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan
kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di negara berkembang, tidak
selalu demikian halnya. Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah
menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu,
sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua
hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Sedangkan Identitas Nasional merupakan manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa
dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda
dengan bangsa lain dalam hldup dan kehidupannya.(Wibisono Koento : 2005) Kata
identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah
ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu
yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi antropologi, identitas
adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi
sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara
sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu
semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok. Adapun kata nasional merupakan
identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik, seperti budaya, agama, dan bahasa, maupun
nonfisik, seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan. Himpunan kelompok-kelompok
inilah yang disebut dengan istilah identitas bangsa atau identitas nasional
yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (colective action) yang
diwujudkan dalam bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi
atribut-atribut nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari
kemunculan konsep nasionalisme. Bila dilihat dalam konteks Indonesia maka
Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang
"dihimpun" dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional
dengan acuan Pancasila dan roh "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai dasar
dan arah pengembangannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa hakikat
Identitas Nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam penataan
kehidupan dalam arti luas. Misalnya, dalam aturan perundang-undangan atau
hukum, sistem pemerintahan yang diharapkan, serta dalam nilai-nilai etik dan
moral yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran
nasional maupun internasional, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya yang
tercermin di dalam Identitas Nasional tersebut bukanlah barang jadi yang sudah
selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang
"terbuka" yang cenderung terus-menerus bersemi karena hasrat menuju
kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan
implikasinya adalah bahwa Identitas Nasional adalah sesuatu yang terbuka untuk
ditafsirkan dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam
kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Identitas
nasional Indonesia bersifat pluralistik (ada keanekaragaman) baik menyangkut
sosiokultural atau religiositas.